Dalam cerita lisan masyarakat Melayu,  terutama Bengkalis, sosok Yong Dolah selalu divisualisasikan kepada  sosok pembual yang suka bercerita, tapi yang diceritakan adalah kosong  belaka.
Bukan hanya bagi orang awam, akan tetapi juga sebagian intelektual yang  memiliki pandangan yang sama terhadap sosok Yong Dolah. Bila hal ini  terjadi, maka ada beberapa faktor kesalahan, yaitu: Pertama, bahasa yang  digunakan Yong Dolah memiliki nilai filosofis yang tinggi sehingga  sampai saat ini pun masih sulit dicerna dan dipahami maksudnya oleh  banyak kalangan.
Akibatnya, kita masih belum mampu menterjemahkan dan memahami maksud  Yong Dolah secara substansial. Hal ini berarti, intelektualitas dan  kebijaksanaan Yong Dolah sangat tinggi untuk zamannya, bahkan mungkin  saat ini dan perlu kajian secara mendalam.
Kedua, informasi tentang cerita Yong Dolah tidak mampu ditrasformasikan  pada generasi saat ini karena tidak adanya upaya dari pemerintah daerah  untuk mempublikasikan cerita filosofis Yong Dolah. Sebab, paradigma saat  ini hanya lebih didominasi oleh faham materialistik (pembangunan benda  nampak) dan hedonism (kenikmatan sesaat).
Sementara untuk mempublikasikan cerita Yong Dolah ditolak oleh kedua  mazhab tersebut. Ketiga, kita sebenarnya adalah orang yang belum  tercerahkan, sebab kehidupan selalu mentertawakan orang, padahal tanpa  kita ketahui kita justru sedang menertawakan diri sendiri, bukan  mentertawakan cerita Yong Dolah. Hal ini disebabkan karena kita tak  mampu memahami apatahlagi membuat melebihi apa yang dilakukan oleh orang  yang kita tertawakan.
Akibat kesalahan di atas, maka eksistensi Yong Dolah dengan cerita  filosofisnya yang demikian tinggi menjadi hilang. Yang muncul hanya  pelecehan terhadap buah intelektual zaman yang memiliki nilai demikian  tinggi tersebut. Jika Minangkabau memiliki filosofi bak “menanam karambi  condong,” memiliki makna yang luas.
Antara lain, mungkin kita lahir di sebuah negeri, tapi justru dihargai  bukan di negeri kita lahir, tapi harum di negeri orang. Namun, anehnya  tidak demikian dengan Yong Dolah. Ia tidak harum di luar daerahnya  sendiri, bahkan anehnya, di tempat Yong Dolah pernah hidup pun ia tidak  mendapat penghormatan yang layak sebagai sosok sastrawan yang memiliki  intelektualitas tinggi.
Jika Soeman Hs termasuk sosok intelektual sastra yang mengekspresikan  kecerdasannya melalui tulisan, namanya harum dan bahkan diabadikan  sebagai nama perpustakaan daerah. Namu, meskipun sudah diabadikan  menjadi nama perpustakaan daerah yang menjadi kebanggaan bumi Melayu,  akan tetapi karya Soeman HS sendiri masih sangat sulit ditemukan  sehingga tidak bisa dibaca oleh generasi saat ini.
Jika tidak percaya, cobalah tanyakan pada generasi saat ini, sejak SD  sampai PT apakah mereka pernah tahu dan membaca karya sastrawan Melayu  yang besar tersebut? Mungkin sebagian besar tidak pernah menyantap  karyanya dan hanya tahu nama Soeman Hs karena menjadi nama perpusatakaan  daerah saja. Alangkan menyedihkan...
Sementara Yong Dolah, adalah sosok intelektual yang mengekspresikan  kecerdasannya melalui oral (lisan) yang hanya menjadi cerita yang  mengandung cemoohan. Padahal, cara Yong Dolah mengekspresikan sastranya  merupakan cara dan bentuk media yang ampuh untuk zamannya.
Sangat banyak intelektual yang menggunakan cara oral dalam mencurahkan  kecerdasannya saat itu. Katakanlah seperti Wak Setah, seorang perempuan  Melayu yang memiliki kemampuan bertutur (bercerita) yang sangat brilian.
Sayangnya, penuturan cerita yang pernah disampaikannya tak pernah  dibukukan, sehingga sulit ditemukan lagi. Padahal, mayarakat Melayu  modern telah banyak yang tidak lagi mengetahui cerita daerahnya akibat  arus novel modern yang tidak mencerminkan nilai Melayu yang islami.
Padahal, apalah sulitnya bagi negeri Lancang Kuning yang kaya ini untuk  mengumpulkan cerita Yong Dolah dan Wak Setah untuk kemudian  dipublikasikan dalam bentuk buku agar bisa menjadi bacaan generasi saat  ini dan akan datang.
Bukankah Bumi Lancang Kuning telah memproklamirkan diri sebagai Pusat  Budaya Melayu Asia Tenggara? Bagaimana mungkin visi ini terwujud tatkala  secara intern generasi negeri ini kurang untuk tidak sama sekali  memahami budayanya dan kekuarangan bacaan para intelektual budaya Melayu  yang pernah ada dahulu dengan kekuatan nilai religious budaya Melayu  yang demikian dalam. Padahal, karya mereka memiliki keluasan makna dan  dalam filosofis religiusnya.
Yong Dolah paling tidak merupakan sosok intelektual sastrawan Melayu  yang pernah lahir di Bumi Lancang Kuning ini yang mengekspresikan  kecerdasannya dalam bingkai sastra yang menggunakan kata hiperbola yang  penuh makna.
Paling tidak, sampai saat ini belum ada yang mampu melakukan bentuk  sastra hiperbola sebagaimana yang telah dilakukan oleh Yong Dolah.  Entahlah... Apakah masih bisa kita tertawa juga lagi ketika mendengar  cerita Yong Dolah. Jika masih bisa, syukurlah. Tapi tertawa karena  keasyikan menikmati kedalaman intelektualitasnya dan kepiawaiannya  memainkan kata, bukan mengejeknya.
Sekali lagi, entahlah... Tapi, Yong Dolah boleh berbangga hati karena  kata filosofisnya bisa membuat kita tertawa dan Wak Setah melalui  celotehnya membuat ia menjadi sosok perempuan Melayu yang  diperbincangkan oleh Pusdatin Puanri.
Beruntunglah Wak Setah karena Pusdatin Puanri masih memperjuangkannya,  tapi tidak demikian dengan Yong Dolah yang tak ada mau memperjuangkan  intelektualitasnya. Sementara masih banyak para pembual dan pencoleteh  lainnya yang lahir hari ini justeru hanya mampu membuat kita menjadi  geram.